Tugas Manajemen 2



0 comments
I. KEKUASAAN

A. Definisi Kekuasaan
Menurut Miriam Budiardjo (2002), kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Menurut Ramlan Surbakti (1992) Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi.
Berikut merupakan definisi dari kekuasaan yang dikemukakan oleh para ahli. Terdapat dalam buku Thoha (2003: 92-93), yaitu :
1. Max Weber
Merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan.
2. Walter Nord
Merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi aliran, energi dan dana yang tersedia untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya. Kekuasaan dipergunakan hanya jika tujuan-tujuan tersebut paling sedikit mengakibatkan perselisihan satu sama lain.
3. Rogers
Berusaha membuat jelas kekaburan istilah dengan merumuskan kekuasaan sebagai suatu potensi dari suatu pengaruh. Dengan demikian kekuasaan adalah suatu sumber yang bisa atau tidak bisa untuk dipergunakan. Penggunaan kekuasaan selalu mengakibatkan perubahan dalam kemungkinan bahwa seseorang atau kelompok akan mengangkat suatu perubahan perilaku yang diinginkan.
4. Abdul Muiz
Mengungkapkan bahwa Kekuasaan dapat didefinisikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin. Kekuasaan seringkali dipergunakan silih berganti dengan istilah pengaruh dan otoritas.



B. Sumber-sumber Kekuasaan Menurut French & Raven
1. Kekuasaan bersumber pada kedudukan
- Kekuasaan formal/legal
- Kekuasaan atas sumber dan ganjaran
- Kendali atas hukuman
- Kendali atau informasi
- Kendali ekologik
2. Kekuasaan bersumber pada kepribadian
- Keahlian atau keterampilan
- Persahabatan atau kesetiaan
- Kharisma
3. Kekuasaan bersumber pada politik
- Kendali atas proses pembuatan keputusan
- Koalisi
- Partisipasi
- Institusional
Sumber-sumber Kekuasaan Menurut French & Raven :
French dan Raven mendefinisikan kekuasaan berdasarkan pada pengaruh; dan pengaruh berdasarkan pada pengubahan psikologis. Pengaruh adalah pengendalian yang dilakukan oleh seseorang dalam organisasi maupun dalam masyarakat terhadap orang lain. Konsep penting atas  dasar gagasan ini adalah bahwa kekuasaan merupakan pengaruh laten (terpendam), sedangkan pengaruh merupakan kekuasaan dalam kenyataan yang direalisasikan. French dan Raven mengidentifikasikan lima sumber basis kekuasaan.
  • Kekuasaan Balas Jasa (reward power) Kekuasaan ini memusatkan perhatian pada kemampuan untuk memberi ganjaran atau imbalan atas pekerjaan atau tugas yang dilakukan orang lain. Kekuasaan ini akan terwujud melalui suatu kejadian atau situasi yang memungkinkan orang lain menemukan kepuasan.
  • Kekuasaan Paksaan (Coercive power) Kekuasaan yang bertipe paksaan ini, lebih memusatkan pandangan kemampuan untuk memberi hukuman kepada orang lain. Tipe koersif ini berlaku jika bawahan merasakan bahwa atasannya yang mempunyai ‘lisensi’ untuk menghukum dengan tugas-tugas yang sulit, mencaci maki sampai kekuasaannya memotong gaji karyawan.
  • Kekuasaan Sah (Legitimate power) Kekuasaan ini didasarkan pada satu hubungan ‘kesukaan’ atau liking, dalam arti ketika seseorang mengidentifikasi orang lain yang mempunyai kualitas atau persyaratan seperti yang diinginkannya. Dalam uraian yang lebih konkrit, seorang pimpinan akan mempunyai referensi terhadap para bawahannya yang mampu melaksanakan pekerjaan dan bertanggung jawab atas pekerjaan yang diberikan atasannya.
  • Kekuasaan Ahli (expert power) Kekuasaan yang berdasar pada keahlian ini, memfokuskan diri pada suatu keyakinan bahwa seseorang yang mempunyai kekuasaan, pastilah ia memiliki pengetahuan, keahlian dan informasi yang lebih banyak dalam suatu persoalan.
  • Kekuasaan Panutan (referent power) Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang sebenarnya (actual power), ketika seseorang melalui suatu persetujuan dan kesepakatan diberi hak untuk mengatur dan menentukan perilaku orang lain dalam suatu organisasi.


II. LEADERSHIP


A. Definisi Leadership
Organisasi tanpa pemimpin bagaikan kapal tanpa nahkoda. Dalam organisasi pemimpin memiliki kekuasaan dan politik. Maju mudurnya organisasi, mati hidupmya organisasi sebagaian besar ditentukan oleh kepemimpinan.
Kepemimpinan (leadership) merupakan proses pengaruh social yaitu suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lain, kekuatan yang mempengaruhi perilaku orang lain kearah pencapaian tujuan tertentu.Berbagai pendapat para ahlu mendefinisikan pengertian kepemimpinan dengan analisa dari sudit pandang yang berbeda antara lain :
1.      Ordway Tead (1935)
Kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang agar mau bekerja sama untuk mencapai beberapa tujuan yang mereka inginkan.
2.      Paul Hersey dan Kenncth H,Blanchard (1982)
Kepemimpin adalah proses mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.
3.      John.C.Maxwell (1967)
Pemimpin adalah pengaruh. Kepemimpinan adalah suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan orang lain.
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor organisasi atau sebagai salah satu fungsi manajemen, oleh karena itu merupakan masalah yang sentral dan strategi

B. Teori-teori Kepemimpinan Partisipatif
1. Teori X dan Y dari Douglas McGregor
Salah satu model kepemimpinan adalah teori x dan y yang dikemukakan oleh Douglas McGregor. Teori x dan y didasarkan pada berbagai asumsi tentang para karyawan atau pegawai dan bagaimana motivasi mereka. Berbagai asumsi yang mendasari teori x dan y adalah :

Teori X
Teori Y
Karyawan cenderung tidak suka (malas) bekerja, kalau mungkin menghindarinya.
Karyawan suka bekerja.
Karyawan selalu ingin diarahkan.
Karyawan yang memiliki komitmen tujuan organisasi akan dapat mengarahkan dan mengendalikan dirinya sendiri.
Manajer harus selalu mengawasi kerja.
Karyawan belajar untuk menerima bahkan mencari tanggung jawab pada saat bekerja.

Asumsi yang dikembangkan dalam teori x pada dasarnya cenderung negatif dan gaya kepemimpinan yang diterapkan dalam suatu organisasi adalah gaya kepemimpinan petunjuk (directive leadership style). Gaya kepemimpinan petunjuk sangatlah tepat diterapkan manakala karyawan yang menjadi bawahannya tersebut cenderung pasif, malas bekerja, tidak kreatif, dan tidak inovatif. oleh karena itu, peran pengarahan yang dilakukan oleh manajer suatu organisasi menjadi sangatlah dominan dan penting bagi kemajuan organisasi tersebut. Tanpa ada arahan yang jelas dan baik, kinerja karyawan akan buruk, tugas-tugas pekerjaan yang dibebankan tidak dapat diselesaikan tepat waktu, atau kualitas penyelesaian pekerjaannya rendah.

Dalam hal ini, komunikasi dikembangkan antara manajer dengan para karyawannya cenderung menjadi komunikasi satu arah yaitu komunikasi dari manajer ke bawahan (top-down communications). Sumber komunikasi lebih didominasi dari manajer, sehingga bawahan cenderung hanya mengiyakan, tidak punya inisiatif, dan tinggal melaksanakan saja tanpa memahami apa maksud dan tujuan atau latar belakang pelaksanaan tugas tersebut.
Sementara itu asumsi yang dikembangkan dalam teori y pada dasarnya cenderung positif dan gaya kepemimpinan yang diterapkannya adalah gaya kepemimpinan partisiatif (participative leadership style). Dalam teori y diasumsikan bahwa karyawan cenderung berperilaku positif. Karyawan pada dasarnya memiliki semangat kerja yang tinggi, tidak malas bekerja, ingin kerja mandiri, dan memiliki komitmen yang tinggi dalam mencapai tujuan suatu organsasi. Di samping itu, karyawan juga memiliki kecenderungan untuk memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap setiap pekerjaan yang mereka kerjakan. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan yang diterapkan dalam situasi tersebut adalah gaya kepemimpinan partisipatif dimana para karyawan dilibatkan di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam gaya kepemimpinan partisipatif tersebut, komunikasi juga memberikan kesempatan kepada bawahan untuk menyampaikan ide atau gagasannya (masukan), yang sangat berharga bagi pengembangan suatu organisasi.
Ringkasnya, dalam teori x dan y Doglas McGregor berusaha mengungkapkan bagaimana perilaku karyawan dalam bekerja dan sekaligus bagaiamana gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam situasi lingkungan kerja yang berbeda, termasuk bagaimana komuniasi antarpribadi (manajer dan bawahan) tersebut dikembangkan dalam lingkungan kerjanya.

2. Teori Sistem 4 dari Rensis Linkert
Dari kalangan human relations, tokoh yang paling berjasa merumuskan pola perilaku manejer untuk menciptakan iklim komunikasi yang positif adalah Rensis Linkert (1961). Dalam buku berjudul New Patterns of  Management, yang telah disinggung di atas, Linkert merumuskan Sistem 4 (Participations) sebagai pola menejemen baru yang “berorientasi pada karyawan” (employee centered) dan dapat mendorong produktivitas kerja.
Selain memberi kesempatan untuk perilaku participatory di kalangan karyawan, manejemen juga menunjukkan perilaku coorperative and supportive pada karyawan.singkat kata menurut Linkert, manejer Sistem 4 menunjukkan kepercayaan, kebebasan, dan keterbukaan pada karyawan, yaitu sebagai berikut :
1). Ia melangsungkan komunikasi jujur dan terbuka dengan arus informasi ke semua arah dengan umpan balik.
2). Dalam pembuatan keputusan ia mendorong partisipasi dan tanggung jawab.
3). Ia membangun pengaruh atas dasar interaksi intensif, saling mempercayai, dan semangat kerja sama.
4). Akhirnya ia mendorong antusiasisme kelompok dengan memberikan kebebasan dalam penemuan tujuan dan standar kerja.

Pimpinan partisipatif menurut Linkert dapat membuat organisasi efektif karena di mata para karyawan atasan melaksanakan serangkaian “perilaku supportif” (supportive climate), “perilaku terbuka (open climate). Khusus tentang hal ini Linkert menulis sebagai berikut :
“…supportive, ramah, dan suka membnatu – bukan memusuhi. Atasan bertindak baik hati tapi Tegas, tidak pernah mengancam. Ia memperlakukan karyawan secara bijak dan penuh kepekaan dengan secara tulus menunjukkan kepedulian pada kesejahteraan dan jerih payah bawahan. Ia adil bukan cenderung murah hati. Ia berusaha keras untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan karyawan maupun organisasi.
…keyakinan kuat tentang integritas, kemampuan, dan motivasi karyawan – tidak bersikap curiga dan berprasangka.
…dengan keyakinan kuat pada bawahan, atasan punya harapan tinggi tentang tingkat kinerja karyawan. Dengan keyakinan tinggi itu ia percaya bahwa tidak akan dikecewakan, maka ia berharap - bukan sedikit - dari karyawan.”

            3. Teori of Leadership Pattern Choice dari Tannembaum dan Scmidt
Keberhasilan merupakan manajemen perubahan antara lain sangat ditentukan oleh gaya (style) yang diadopsi oleh manajemen. Teori ini berpendapat tingkat keberhasilan pengambilan keputusan sangat ditentukan oleh sejumlah gaya yang dianut dalam mengelola perubahan. Gaya atau cara yang dimaksud lebih menyangkut pengambilan keputusan dan implementasi. Seseorang dapat melakoni gaya kepemimpinan dalam suatu horizon mulai dari sangat otokratik hingga partisipatif.
Dalam gaya kepemimpinan partisipatif, eksekutif melibatkan bawahan-bawahannya dalam berbagai hal, yaitu pengumpulan data, mendiagnosis masalah, mencapai persetujuan, dan sebagainya. Sebaliknya dalam kepemimpinan lainnya yang lebih otoriter, kita bisa melakukan banyak hal sendirian dan membiarkan karyawan atau bawahan berada dalam kegelapan.
Vroom dan Jago (1988) menemukan bahwa tingkat keberhasilan masing-masing gaya kepemimpinan tersebut berkaitan erat dengan sejumlah contingencies (kemungkinan-kemungkinan), yaitu :
-          Seberapa penting komitmen karyawan dibutuhkan dalam pengambilan keputusan ?
-          Apakah karyawan mau terlibat dalam tujuan perubahan?
-          Apakah manejer memiliki informasi yang cukup untuk mengambil keputusan yang baik?
-          Apakah karyawan cukup punya kompetensi untuk pengambilan keputusan?
-          Jika manejer-manejer membuat keputusan, apakah karyawan mau menurutinya?
-          Berapa banyak waktu yang tersedia untuk mengambil keputusan?
Dengan demikian menurut teori ini tidak selalu komitmen dan partisipasi bawahan diperlukan. Semua ini memerlukan analisis dan diagnosis mengenai kesiapan kedua belah pihak, yaitu atasan dan bawahan, baik sikap mental, motivasi, maupun kompetensinya.

C. Teori Kepemimpinan dari Konsep Modern Approach to Participation yang Memuat Konsep Decision Tree for Leadership dari Tokoh Vroom dan Yetton
            Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.




Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
* AI (Autocratic) : Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara unilateral, menggunakan informasi yang ada.
* AII (Autocratic) : Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun setelah membuat keputusan unilateral
* CI (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
* CII (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
* GII (Group Decision) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.

Dalam memilih alternatif-alternatif pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.

Normative Theory: Rules Designed To Protect Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973)
· Leader Information Rule: Jika kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasi atau ahli untuk memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
· Goal Congruence Rule: Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk membuat keputusan  yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
· Unstructured Problem Rule: Jika kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup informasi dan ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya kepemimpinan autocratic.
· Acceptance Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, eliminasi gaya autocratic.
· Conflict Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, dan mereka memegang opini konflik di luar makna pencapaian beberapa sasaran, eliminasi gaya autocratic.
· Fairness Rule: Jika kualitas keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka gunakan gaya yang paling partisipatif.
· Acceptance Priority Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil dari keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif.
Model ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagai situasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi. Fokus utama harus pada masalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini terjadi. Gaya kepemimpinan yang digunakan pada satu situasi tidak boleh membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.

Hal-hal yang harus diperhatikan :
1.  Beberapa proses sosial mempengaruhi tingkat partisipasi bawahan dalam pemecahan masalah
2. Spesifikasi kriteria untuk menilai keefektifan keputusan Yang termasuk dalam keefektifan keputusan antara lain : kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan pertimbangan waktu.
3. Kerangka untuk menggambarkan perilaku atau gaya pemimpin yang spesifik
4. Variabel diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan


D. Teori Kepemimpinan dari Konsep Contingency Theory of  Leadership dari Fiedler
Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yg spesifik. Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tersebut harus dipertimbangkan.
Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power). Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin.
Misalnya :
1. Meminta orang tertentu untuk bekerja dalam kelompok
2.  Memindahkan bawahan tertentu ke luar dari unit
3. Sukarela mengarahkan, mengajarkan dan menegur bawahan yang bandel atau sulit diatur

Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku.
Misalnya :
1. Jika mungkin, memberikan tugas baru atau tidak biasa pada kelompok
2. Bagi tugas menjadi subtugas yang lebih kecil sehingga lebih terstruktur

Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).
Misalnya :
1. Tunjukkan pada bawahan siapa yang berkuasa dengan menerapkan seluruh otoritas yang Anda miliki
2. Pastikan informasi pada kelompok hanya dapat diperoleh melalui anda
3. Biarkan bawahan berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan

E. Teori Kepemimpinan dari Konsep Path and Goal Theory
Path Goal theory (teori jalur tujuan) dari kepemimpinan telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana perilaku seorang pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahannya. Teori ini pertama kali diungkapkan oleh Evans (1970) dan House (1971). House (1971) memformulasikan teori ini dengan versi yang lebih teliti dengan menyertakan variabel situasional. Teori tersebut semakin dimurnikan oleh beberapa penulis seperti Evans (1974); House dan Dessler (1974); House dan Mitchell (1974; dan House (1996).
Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena efek positif yang mereka berikan terhadap motivasi para pengikur, kinerja dan kepuasan. Teori ini dianggap sebagai path-goal karena terfokus pada bagaimana pemimpim mempengaruhi persepsi dari pengikutnya tentang tujuan pekerjaan, tujuan pengembangan diri, dan jalur yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan (Ivancevich, dkk, 2007:205).
Dasar dari path goal adalah teori motivasi ekspektansi. Teori awal dari path goal menyatakan bahwa pemimpin efektif adalah pemimpin yang bagus dalam memberikan imbalan pada bawahan dan membuat imbalan tersebut dalam satu kesatuan (contingent) dengan pencapaian bawahan terhadap tujuan sepsifik.
Perkembangan awal teori path goal menyebutkan empat gaya perilaku spesifik dari seorang pemimpin meliputi direktif, suportif, partisipatif, dan berorientasi pencapaian dan tiga sikap bawahan meliputi kepuasan kerja, penerimaan terhadap pimpinan, dan harapan mengenai hubungan antara usaha –kinerja-imbalan.

Model kepemimpinan jalur tujuan (path goal) menyatakan pentingnya pengaruh pemimpin terhadap persepsi bawahan mengenai tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalur pencapaian tujuan. Dasar dari model ini adalah teori motivasi eksperimental. Model kepemimpinan ini dipopulerkan oleh Robert House yang berusaha memprediksi ke-efektifan kepemimpinan dalam berbagai situasi.

0 comments:

Post a Comment

newer post older post