I.
KEKUASAAN
A. Definisi Kekuasaan
Menurut Miriam Budiardjo (2002), kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau
kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginan dari pelaku. Menurut Ramlan Surbakti (1992) Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi
pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang
memengaruhi.
Berikut merupakan definisi dari kekuasaan yang dikemukakan oleh para ahli.
Terdapat dalam buku Thoha (2003: 92-93), yaitu :
1. Max Weber
Merumuskan kekuasaan itu
sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan
sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan
yang menghilangkan halangan.
2. Walter Nord
Merumuskan kekuasaan itu
sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi aliran, energi dan dana yang
tersedia untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan
lainnya. Kekuasaan dipergunakan hanya jika tujuan-tujuan tersebut paling
sedikit mengakibatkan perselisihan satu sama lain.
3. Rogers
Berusaha membuat jelas
kekaburan istilah dengan merumuskan kekuasaan sebagai suatu potensi dari suatu
pengaruh. Dengan demikian kekuasaan adalah suatu sumber yang bisa atau tidak
bisa untuk dipergunakan. Penggunaan kekuasaan selalu mengakibatkan perubahan
dalam kemungkinan bahwa seseorang atau kelompok akan mengangkat suatu perubahan
perilaku yang diinginkan.
4. Abdul Muiz
Mengungkapkan bahwa Kekuasaan dapat
didefinisikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin. Kekuasaan
seringkali dipergunakan silih berganti dengan istilah pengaruh dan otoritas.
B. Sumber-sumber
Kekuasaan Menurut French & Raven
1. Kekuasaan bersumber pada kedudukan
- Kekuasaan formal/legal
- Kekuasaan atas sumber dan ganjaran
- Kendali atas hukuman
- Kendali atau informasi
- Kendali ekologik
2. Kekuasaan bersumber pada kepribadian
- Keahlian atau keterampilan
- Persahabatan atau kesetiaan
- Kharisma
3. Kekuasaan bersumber pada politik
- Kendali atas proses pembuatan keputusan
- Koalisi
- Partisipasi
- Institusional
Sumber-sumber Kekuasaan
Menurut French & Raven :
French dan Raven mendefinisikan kekuasaan berdasarkan pada pengaruh; dan
pengaruh berdasarkan pada pengubahan psikologis. Pengaruh adalah pengendalian
yang dilakukan oleh seseorang dalam organisasi maupun dalam masyarakat terhadap
orang lain. Konsep penting atas dasar gagasan ini adalah bahwa kekuasaan
merupakan pengaruh laten (terpendam), sedangkan pengaruh merupakan kekuasaan
dalam kenyataan yang direalisasikan. French dan Raven mengidentifikasikan lima
sumber basis kekuasaan.
- Kekuasaan
Balas Jasa (reward power) Kekuasaan ini memusatkan perhatian pada
kemampuan untuk memberi ganjaran atau imbalan atas pekerjaan atau tugas
yang dilakukan orang lain. Kekuasaan ini akan terwujud melalui suatu
kejadian atau situasi yang memungkinkan orang lain menemukan kepuasan.
- Kekuasaan
Paksaan (Coercive power) Kekuasaan yang bertipe paksaan ini, lebih
memusatkan pandangan kemampuan untuk memberi hukuman kepada orang lain.
Tipe koersif ini berlaku jika bawahan merasakan bahwa atasannya yang
mempunyai ‘lisensi’ untuk menghukum dengan tugas-tugas yang sulit, mencaci
maki sampai kekuasaannya memotong gaji karyawan.
- Kekuasaan
Sah (Legitimate power) Kekuasaan ini didasarkan pada satu hubungan
‘kesukaan’ atau liking, dalam arti ketika seseorang mengidentifikasi orang
lain yang mempunyai kualitas atau persyaratan seperti yang diinginkannya.
Dalam uraian yang lebih konkrit, seorang pimpinan akan mempunyai referensi
terhadap para bawahannya yang mampu melaksanakan pekerjaan dan bertanggung
jawab atas pekerjaan yang diberikan atasannya.
- Kekuasaan
Ahli (expert power) Kekuasaan yang berdasar pada keahlian ini, memfokuskan
diri pada suatu keyakinan bahwa seseorang yang mempunyai kekuasaan,
pastilah ia memiliki pengetahuan, keahlian dan informasi yang lebih banyak
dalam suatu persoalan.
- Kekuasaan
Panutan (referent power) Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang
sebenarnya (actual power), ketika seseorang melalui suatu persetujuan dan
kesepakatan diberi hak untuk mengatur dan menentukan perilaku orang lain
dalam suatu organisasi.
II.
LEADERSHIP
A. Definisi Leadership
Organisasi tanpa pemimpin bagaikan kapal
tanpa nahkoda. Dalam organisasi pemimpin memiliki kekuasaan dan politik. Maju
mudurnya organisasi, mati hidupmya organisasi sebagaian besar ditentukan oleh
kepemimpinan.
Kepemimpinan (leadership) merupakan
proses pengaruh social yaitu suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lain,
kekuatan yang mempengaruhi perilaku orang lain kearah pencapaian tujuan
tertentu.Berbagai pendapat para ahlu mendefinisikan pengertian kepemimpinan
dengan analisa dari sudit pandang yang berbeda antara lain :
1.
Ordway Tead (1935)
Kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang agar
mau bekerja sama untuk mencapai beberapa tujuan yang mereka inginkan.
2.
Paul Hersey dan Kenncth H,Blanchard
(1982)
Kepemimpin adalah proses mempengaruhi kegiatan individu atau
kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.
3.
John.C.Maxwell (1967)
Pemimpin adalah pengaruh. Kepemimpinan adalah suatu
kehidupan yang mempengaruhi kehidupan orang lain.
Kepemimpinan merupakan salah satu
faktor organisasi atau sebagai salah satu fungsi manajemen, oleh karena itu
merupakan masalah yang sentral dan strategi
B. Teori-teori
Kepemimpinan Partisipatif
1. Teori X dan Y dari Douglas McGregor
Salah
satu model kepemimpinan adalah teori x dan y yang dikemukakan oleh Douglas
McGregor. Teori x dan y didasarkan pada berbagai asumsi tentang para karyawan
atau pegawai dan bagaimana motivasi mereka. Berbagai asumsi yang mendasari
teori x dan y adalah :
Teori X
|
Teori Y
|
Karyawan cenderung tidak suka (malas) bekerja, kalau mungkin
menghindarinya.
|
Karyawan suka bekerja.
|
Karyawan selalu ingin diarahkan.
|
Karyawan yang memiliki komitmen tujuan organisasi akan dapat
mengarahkan dan mengendalikan dirinya sendiri.
|
Manajer harus selalu mengawasi kerja.
|
Karyawan belajar untuk menerima bahkan mencari tanggung jawab pada
saat bekerja.
|
Asumsi
yang dikembangkan dalam teori x pada dasarnya cenderung negatif dan gaya
kepemimpinan yang diterapkan dalam suatu organisasi adalah gaya kepemimpinan
petunjuk (directive leadership style). Gaya kepemimpinan petunjuk sangatlah
tepat diterapkan manakala karyawan yang menjadi bawahannya tersebut cenderung
pasif, malas bekerja, tidak kreatif, dan tidak inovatif. oleh karena itu, peran
pengarahan yang dilakukan oleh manajer suatu organisasi menjadi sangatlah
dominan dan penting bagi kemajuan organisasi tersebut. Tanpa ada arahan yang
jelas dan baik, kinerja karyawan akan buruk, tugas-tugas pekerjaan yang
dibebankan tidak dapat diselesaikan tepat waktu, atau kualitas penyelesaian
pekerjaannya rendah.
Dalam
hal ini, komunikasi dikembangkan antara manajer dengan para karyawannya
cenderung menjadi komunikasi satu arah yaitu komunikasi dari manajer ke bawahan
(top-down communications). Sumber komunikasi lebih didominasi dari manajer,
sehingga bawahan cenderung hanya mengiyakan, tidak punya inisiatif, dan tinggal
melaksanakan saja tanpa memahami apa maksud dan tujuan atau latar belakang
pelaksanaan tugas tersebut.
Sementara
itu asumsi yang dikembangkan dalam teori y pada dasarnya cenderung positif dan
gaya kepemimpinan yang diterapkannya adalah gaya kepemimpinan partisiatif
(participative leadership style). Dalam teori y diasumsikan bahwa karyawan
cenderung berperilaku positif. Karyawan pada dasarnya memiliki semangat kerja
yang tinggi, tidak malas bekerja, ingin kerja mandiri, dan memiliki komitmen
yang tinggi dalam mencapai tujuan suatu organsasi. Di samping itu, karyawan
juga memiliki kecenderungan untuk memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi
terhadap setiap pekerjaan yang mereka kerjakan. Oleh karena itu, gaya
kepemimpinan yang diterapkan dalam situasi tersebut adalah gaya kepemimpinan
partisipatif dimana para karyawan dilibatkan di dalam proses pengambilan
keputusan. Dalam gaya kepemimpinan partisipatif tersebut, komunikasi juga
memberikan kesempatan kepada bawahan untuk menyampaikan ide atau gagasannya
(masukan), yang sangat berharga bagi pengembangan suatu organisasi.
Ringkasnya,
dalam teori x dan y Doglas McGregor berusaha mengungkapkan bagaimana perilaku
karyawan dalam bekerja dan sekaligus bagaiamana gaya kepemimpinan yang dapat
diterapkan dalam situasi lingkungan kerja yang berbeda, termasuk bagaimana
komuniasi antarpribadi (manajer dan bawahan) tersebut dikembangkan dalam
lingkungan kerjanya.
2. Teori Sistem 4 dari Rensis Linkert
Dari
kalangan human relations, tokoh yang paling berjasa merumuskan pola perilaku
manejer untuk menciptakan iklim komunikasi yang positif adalah Rensis Linkert
(1961). Dalam buku berjudul New Patterns of
Management, yang telah disinggung di atas, Linkert merumuskan Sistem 4
(Participations) sebagai pola menejemen baru yang “berorientasi pada karyawan”
(employee centered) dan dapat mendorong produktivitas kerja.
Selain
memberi kesempatan untuk perilaku participatory di kalangan karyawan, manejemen
juga menunjukkan perilaku coorperative and supportive pada karyawan.singkat
kata menurut Linkert, manejer Sistem 4 menunjukkan kepercayaan, kebebasan, dan
keterbukaan pada karyawan, yaitu sebagai berikut :
1).
Ia melangsungkan komunikasi jujur dan terbuka dengan arus informasi ke semua
arah dengan umpan balik.
2).
Dalam pembuatan keputusan ia mendorong partisipasi dan tanggung jawab.
3).
Ia membangun pengaruh atas dasar interaksi intensif, saling mempercayai, dan
semangat kerja sama.
4).
Akhirnya ia mendorong antusiasisme kelompok dengan memberikan kebebasan dalam
penemuan tujuan dan standar kerja.
Pimpinan
partisipatif menurut Linkert dapat membuat organisasi efektif karena di mata
para karyawan atasan melaksanakan serangkaian “perilaku supportif” (supportive
climate), “perilaku terbuka (open climate). Khusus tentang hal ini Linkert
menulis sebagai berikut :
“…supportive, ramah, dan suka
membnatu – bukan memusuhi. Atasan bertindak baik hati tapi Tegas, tidak pernah
mengancam. Ia memperlakukan karyawan secara bijak dan penuh kepekaan dengan
secara tulus menunjukkan kepedulian pada kesejahteraan dan jerih payah bawahan.
Ia adil bukan cenderung murah hati. Ia berusaha keras untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan karyawan maupun organisasi.
…keyakinan kuat tentang integritas,
kemampuan, dan motivasi karyawan – tidak bersikap curiga dan berprasangka.
…dengan keyakinan kuat pada
bawahan, atasan punya harapan tinggi tentang tingkat kinerja karyawan. Dengan
keyakinan tinggi itu ia percaya bahwa tidak akan dikecewakan, maka ia berharap
- bukan sedikit - dari karyawan.”
3. Teori of Leadership Pattern
Choice dari Tannembaum dan Scmidt
Keberhasilan
merupakan manajemen perubahan antara lain sangat ditentukan oleh gaya (style)
yang diadopsi oleh manajemen. Teori ini berpendapat tingkat keberhasilan pengambilan
keputusan sangat ditentukan oleh sejumlah gaya yang dianut dalam mengelola
perubahan. Gaya atau cara yang dimaksud lebih menyangkut pengambilan keputusan
dan implementasi. Seseorang dapat melakoni gaya kepemimpinan dalam suatu
horizon mulai dari sangat otokratik hingga partisipatif.
Dalam
gaya kepemimpinan partisipatif, eksekutif melibatkan bawahan-bawahannya dalam
berbagai hal, yaitu pengumpulan data, mendiagnosis masalah, mencapai
persetujuan, dan sebagainya. Sebaliknya dalam kepemimpinan lainnya yang lebih
otoriter, kita bisa melakukan banyak hal sendirian dan membiarkan karyawan atau
bawahan berada dalam kegelapan.
Vroom
dan Jago (1988) menemukan bahwa tingkat keberhasilan masing-masing gaya
kepemimpinan tersebut berkaitan erat dengan sejumlah contingencies
(kemungkinan-kemungkinan), yaitu :
-
Seberapa penting komitmen karyawan
dibutuhkan dalam pengambilan keputusan ?
-
Apakah karyawan mau terlibat dalam
tujuan perubahan?
-
Apakah manejer memiliki informasi yang
cukup untuk mengambil keputusan yang baik?
-
Apakah karyawan cukup punya kompetensi
untuk pengambilan keputusan?
-
Jika manejer-manejer membuat keputusan,
apakah karyawan mau menurutinya?
-
Berapa banyak waktu yang tersedia untuk
mengambil keputusan?
Dengan
demikian menurut teori ini tidak selalu komitmen dan partisipasi bawahan
diperlukan. Semua ini memerlukan analisis dan diagnosis mengenai kesiapan kedua
belah pihak, yaitu atasan dan bawahan, baik sikap mental, motivasi, maupun
kompetensinya.
C. Teori Kepemimpinan
dari Konsep Modern Approach to Participation yang Memuat Konsep Decision Tree
for Leadership dari Tokoh Vroom dan Yetton
Salah satu tugas utama dari seorang
pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para
pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa
komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan
yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya.
Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam
jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan
baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan
keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan
meningkatkan produktivitas.
Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai
berikut :
* AI (Autocratic) : Pemimpin
memecahkan masalah atau membuat keputusan secara unilateral, menggunakan
informasi yang ada.
* AII (Autocratic) : Pemimpin memperoleh informasi yang
dibutuhkan dari bawahan namun setelah membuat keputusan unilateral
* CI (Consultative) : Pemimpin
membagi permasalahan dengan bawahannya secara perorangan, namun setelah itu
membuat keputusan secara unilateral.
* CII (Consultative) : Pemimpin
membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun
setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
* GII (Group Decision) : Pemimpin
membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan
diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.
Dalam memilih alternatif-alternatif
pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat
pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan
yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat
keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur
dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus
bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan
menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan
dicapai melalui pemecahan masalah ini.
Normative Theory: Rules Designed To Protect Decision
Quality (Vroom & Yetton, 1973)
· Leader Information Rule: Jika
kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasi atau ahli untuk
memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
· Goal Congruence Rule: Jika
kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk membuat keputusan
yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
· Unstructured Problem Rule: Jika
kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup informasi dan ahli dan
masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya kepemimpinan autocratic.
· Acceptance Rule: Jika persetujuan
dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, eliminasi gaya
autocratic.
·
Conflict Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi
efektif, dan mereka memegang opini konflik di luar makna pencapaian beberapa
sasaran, eliminasi gaya autocratic.
· Fairness Rule: Jika kualitas
keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka gunakan gaya yang
paling partisipatif.
· Acceptance Priority Rule: Jika
persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil dari keputusan
autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi,
gunakan gaya yang paling partisipatif.
Model
ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagai
situasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi. Fokus
utama harus pada masalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini
terjadi. Gaya kepemimpinan yang digunakan pada satu situasi tidak boleh
membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.
Hal-hal yang harus diperhatikan :
1.
Beberapa proses sosial mempengaruhi tingkat partisipasi bawahan dalam pemecahan
masalah
2.
Spesifikasi kriteria untuk menilai keefektifan keputusan Yang termasuk dalam
keefektifan keputusan antara lain : kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan
pertimbangan waktu.
3.
Kerangka untuk menggambarkan perilaku atau gaya pemimpin yang spesifik
4.
Variabel diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi
kepemimpinan
D. Teori Kepemimpinan
dari Konsep Contingency Theory of Leadership
dari Fiedler
Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam
satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan
pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yg
spesifik. Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang
berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada
satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun,
sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan bervariasi
dari satu situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi
teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang
menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach. Teori-teori kontingensi
berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam
berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Asumsi sentral teori ini adalah
bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya
adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh
berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara lengkap
efektifitas pemimpin, kedua hal tersebut harus dipertimbangkan.
Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin
dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih
efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan
orientasi kepada orang/hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya
sangat rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC
akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya
moderat.
Model kepemimpinan Fiedler (1967)
disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa
kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara
atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the
favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga
faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya
mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan
antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task
structure) dan kekuatan posisi (position power). Hubungan antara pemimpin dan
bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu dipercaya dan disukai oleh
bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin.
Misalnya
:
1.
Meminta orang tertentu untuk bekerja dalam kelompok
2. Memindahkan bawahan tertentu ke luar dari
unit
3.
Sukarela mengarahkan, mengajarkan dan menegur bawahan yang bandel atau sulit
diatur
Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh
mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh
mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan
prosedur yang baku.
Misalnya
:
1.
Jika mungkin, memberikan tugas baru atau tidak biasa pada kelompok
2.
Bagi tugas menjadi subtugas yang lebih kecil sehingga lebih terstruktur
Kekuatan posisi menjelaskan sampai
sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena
posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti
penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga
menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya
dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat
(demotions).
Misalnya
:
1.
Tunjukkan pada bawahan siapa yang berkuasa dengan menerapkan seluruh otoritas
yang Anda miliki
2.
Pastikan informasi pada kelompok hanya dapat diperoleh melalui anda
3.
Biarkan bawahan berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
E. Teori Kepemimpinan dari
Konsep Path and Goal Theory
Path Goal theory (teori jalur tujuan)
dari kepemimpinan telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana perilaku
seorang pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahannya. Teori ini
pertama kali diungkapkan oleh Evans (1970) dan House (1971). House (1971)
memformulasikan teori ini dengan versi yang lebih teliti dengan menyertakan
variabel situasional. Teori tersebut semakin dimurnikan oleh beberapa penulis
seperti Evans (1974); House dan Dessler (1974); House dan Mitchell (1974; dan
House (1996).
Menurut model ini, pemimpin menjadi
efektif karena efek positif yang mereka berikan terhadap motivasi para
pengikur, kinerja dan kepuasan. Teori ini dianggap sebagai path-goal karena
terfokus pada bagaimana pemimpim mempengaruhi persepsi dari pengikutnya tentang
tujuan pekerjaan, tujuan pengembangan diri, dan jalur yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan (Ivancevich, dkk, 2007:205).
Dasar dari path goal adalah teori
motivasi ekspektansi. Teori awal dari path goal menyatakan bahwa pemimpin
efektif adalah pemimpin yang bagus dalam memberikan imbalan pada bawahan dan
membuat imbalan tersebut dalam satu kesatuan (contingent) dengan pencapaian
bawahan terhadap tujuan sepsifik.
Perkembangan awal teori path goal
menyebutkan empat gaya perilaku spesifik dari seorang pemimpin meliputi
direktif, suportif, partisipatif, dan berorientasi pencapaian dan tiga sikap
bawahan meliputi kepuasan kerja, penerimaan terhadap pimpinan, dan harapan
mengenai hubungan antara usaha –kinerja-imbalan.
Model kepemimpinan jalur tujuan (path
goal) menyatakan pentingnya pengaruh pemimpin terhadap persepsi bawahan
mengenai tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalur pencapaian tujuan.
Dasar dari model ini adalah teori motivasi eksperimental. Model kepemimpinan
ini dipopulerkan oleh Robert House yang berusaha memprediksi ke-efektifan
kepemimpinan dalam berbagai situasi.
0 comments:
Post a Comment