Cinta dan Perkawinan



0 comments
Memilih Pasangan
Dalam memilih pasangan hidup, baik bagi laki-laki maupun perempuan keduanya memiliki hak untuk memilih yang paling tepat sebagai pasangannya. Maka dari itu harus benar-benar diperhitungkan ketika memilih pasangan yang baik. Bila ingin pintar, seseorang harus rajin belajar, bila ingin kaya seseorang harus berhemat, begitu pula tentang pasangan hidup. Bila menginginkan pasangan hidup yang baik maka kita juga harus baik.
Tidak ada sesuatu di dunia ini yang dapat dengan mudah kita peroleh tanpa adanya pengorbanan. Segala sesuatu ada harga-nya termasuk bila ingin mendapatkan pasangan hidup yang baik. Ya, dimulai dari diri sendiri. Bila kita bercita-cita untuk mendapatkan pasangan hidup yang baik, maka kita sendiri harus baik. Percayalah, Tuhan telah memasangkan manusia sesuai dengan karakter dan derajat mereka masing-masing. Manusia yang baik hanyalah untuk manusia yang baik pula, begitu pula sebaliknya.
Julianto Simanjuntak dalam bukunya, menekankan bahwa dalam memilih pasangan harus ada kesepadanan alias kecocokan. Karena ketika pada awal-awal berpacaran, kita sering lupa mengenali kepribadian dan latar belakang pasangan. Jadi, cinta itu bukan hanya sekedar mencintai atau dicintai. Tapi juga dituntut memahami latar belakang dan kepribadian pasangan anda dengan sepenuhi hati.

Hubungan Dalam Perkawinan
Dawn J. Lipthrott, LCSW, seorang psikoterapis dan juga marriage and relationship educator and coach, mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam kehidupan perkawinan, yaitu :
Tahap pertama : Romantic Love
Tahap ini adalah saat Anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang menggebu-gebu. Ini terjadi di saat bulan madu pernikahan. Anda dan pasangan pada tahap ini selalu melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta.
Tahap kedua : Dissapointment or Distress
Masih menurut Dawn, di tahap ini pasangan suami istri kerap saling menyalahkan, memiliki rasa marah dan kecewa pada pasangan, berusaha menang atau lebih benar dari pasangannya. Terkadang salah satu dari pasangan yang mengalami hal ini berusaha untuk mengalihkan perasaan stres yang memuncak dengan menjalin hubungan dengan orang lain, mencurahkan perhatian ke pekerjaan, anak atau hal lain sepanjang sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Dawn tahapan ini bisa membawa pasangan suami-istri ke situasi yang tak tertahankan lagi terhadap hubungan dengan pasangannya.  Banyak pasangan di tahap ini memilih berpisah dengan pasangannya.
Tahap ketiga : Knowledge and Awareness
Dawn mengungkapkan bahwa pasangan suami istri yang sampai pada tahap ini akan lebih memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya. Pasangan ini juga sibuk  menggali informasi tentang bagaimana kebahagiaan pernikahan itu terjadi. Menurut Dawn juga, pasangan yang sampai di tahap ini biasanya senang untuk meminta kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada pasangan lain yang lebih tua atau mengikuti seminar-seminar dan konsultasi perkawinan.
Tahap keempat: Transformation
Suami istri di tahap ini akan mencoba tingkah laku  yang berkenan di hati pasangannya. Anda akan membuktikan untuk menjadi pasangan yang tepat bagi pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman yang menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam mensikapi perbedaan yang terjadi. Saat itu, Anda dan pasangan akan saling menunjukkan penghargaan, empati dan ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.
Tahap kelima:  Real Love
Psikoterapis ini menjelaskan pula bahwa waktu yang dimiliki oleh pasangan suami istri seolah digunakan untuk saling memberikan perhatian satu sama lain. Suami dan istri semakin menghayati cinta kasih pasangannya sebagai realitas yang menetap. “Real love sangatlah mungkin untuk Anda dan pasangan jika Anda berdua memiliki keinginan untuk mewujudkannya. Real love tidak bisa terjadi dengan sendirinya tanpa adanya usaha Anda berdua,” ingat Dawn.
Hubungan dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan yang bisa diduga sebelumnya. Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut memang tidak terjadi secara mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang pasti.  Bisa jadi antara pasangan suami-istri, yang satu dengan yang lain, memiliki waktu berbeda saat menghadapi dan melalui tahapannya.

Penyesuaian dan Pertumbuhan dalam Perkawinan
Hirning dan Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan, nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru, anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Lasswell dan Lasswell (1987) mengatakan bahwa konsep dari penyesuaianperkawinan adalah bahwa dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan, dan harapan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan,kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.
Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan :
Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983)mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Penelitian juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya dan kurang persiapan untuk menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut.
Tapi dalam hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).
Agama
Hubungan antara agama dan penyesuaianperkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama di ketiga agama tersebut.
Ras
Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas Sumatera Utara331983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing
Pendidikan
Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan.
Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami istri dengan penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess & Wallin, dalam Dyer, 1983).
Keluarga Pasangan
Salah satu hal yang harus dihadapioleh pasangan yang baru menikah adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.

Perceraian dan Pernikahan Kembali
Menikah Kembali setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya.
Penelitian menunjukan bahwa penduduk lansia Amerika hampir akan berlipat ganda pada tahun 2050, menurut laporan Pew Research. Seperti baby boomer memasuki masa pensiun, perhatian ada siapa yang akan merawat mereka dengan bertambahnya usia mereka. Secara tradisional, anak-anak telah menerima tanggung jawab pengasuhan, tapi peran-peran pengasuhan menjadi kabur karena keluarga lebih banyak terpengaruh oleh perceraian dan pernikahan kembali dibandingkan dekade sebelumnya. Lawrence Ganong, seorang profesor dan co-kursi di Departemen MU Pembangunan Manusia dan Studi Keluarga di Fakultas Ilmu Lingkungan Manusia (HES), mempelajari bagaimana perceraian dan pernikahan kembali mempengaruhi keyakinan tentang siapa yang harus merawat kerabat penuaan. Dia menemukan bahwa kualitas hubungan, riwayat saling membantu, dan keputusan sumber daya mempengaruhi ketersediaan tentang siapa yang peduli untuk orang tua dan orang tua tiri.
Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman, tinggalkan masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari pernikahan sebelumnya.
Alternatif selain Pernikahan
Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang. Alasan yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan terpaksa, selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa lajangnya dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang telah cocok di hati.
Sumber:
Julianto,Simanjuntak.2012. Banyak Cocok Sedikit Cekcok, Seni Memilih Teman Hidup dan Berpacaran Dewasa.Jakarta:Yayasan Peduli Konseling Nusantara (PELIKAN)

0 comments:

Post a Comment

newer post older post