Nama : Astri Indrawati
Kelas : 2PA16
NPM : 11513455
TEORI ALIRAN HUMANISTIK
Aliran humanistik mulai muncul sebagai sebuah gerakan besar psikologi dalam tahun 1950-an dan 1960-an. Aliran Humanistik merupakan konstribusi dari psikolog-psikolog terkenal seperti Gordon Allport, Abraham Maslow dan Carl Rogers.
Walaupun psikolog humanistik dipengaruhi oleh psikoanalisis dan behaviorisme, namun aliran ini mempunyai ketidaksesuaian yang sangat berarti dengan psikoanalisis dan behaviorisme. Tekanan utama yang oleh behavioris dikenakan pada stimuli dan tingkah laku yang teramati, dipandang Psikologi Humanistik sebagai penyederhanaan yang keterlaluan yang melalaikan diri manusia sendiri dan pengalaman-pengalaman batinnya, tingkah lakunya yang kompleks seperti cinta, nilai-nilai dan kepercayaan, begitu pula potensinya untuk mengarahkan diri dan mengaktualisasikan diri. Maka psikologi humanistik sangat mementingkan diri (self) manusia sebagai pemersatu yang menerangkan pengalaman-pengalaman subjektif individual, yang banyak menentukan tingkah lakunya yang dapat diamati.
Psikolog-psikolog Humanistik pun tidak menyetujui pandangan pesismis terhadap hakekat manusia dan dicerminkan oleh psikoanalisis Freud maupun pandangan netral (tidak jahat dan tidak baik) kaum behavior.
Psikolog-psikolog Humanistik pun tidak menyetujui pandangan pesismis terhadap hakekat manusia dan dicerminkan oleh psikoanalisis Freud maupun pandangan netral (tidak jahat dan tidak baik) kaum behavior.
Menurut aliran humanistik, kedua aliran itu memandang tingkah laku manusia secara salah yaitu sebagai tingkah laku yang seluruhnya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan diluar kekuasaannya; apakah kekuatan-kekuatan itu berupa motif-motif yang tak disadari atau conditioning dari masa kanak-kanak dan pengaruh lingkungan. Bertentangan dengan kedua pandangan aliran tadi, aliran Humanistik menyetujui sebuah konsep yang jauh lebih positif mengenai hakekat manusia, yakni memandang hakekat manusia itu pada dasarnya baik. Perbuatan-perbuatan manusia yang kejam dan mementingkan diri sendiri dipandang sebagai tingkah laku patologik yang disebabkan oleh penolakan dan frustasi dari sifat yang pada dasarnya baik itu. Seorang manusia tidak dipandang sebagai mesin otomat yang pasif, tetapi sebagi peserta yang aktif yang mempunyai kemerdekaan memilih untuk menentukan nasibnya sendiri dan nasib orang lain.
Aliran humanistik ini mempunyai pertalian yang erat dengan aliran eksistensialisme. nyatanya, banyak Psikolog-psikolog Humanistik berorientasi eksistensialisme. Psikologi Humanistik dan Eksistensialisme mementingkan keunikan-keunikan pada seorang individu, usahanya mencari nilai-nilai, dan kebebasannya untuk memuaskan diri. Aliran eksistensialisme menekankan beberapa tema dasar yang diantaranya tema menghendaki arti, kecemasan eksistensial, dan menemukan ketidakadaan (kehampaan) adalah yang paling tepat.
Tema-tema ini dapat dilihat pada paparan dari Viktor Frankl merupakan salah seorang psikiater yang berorientasi eksistensialisme yang sangat menonjol. Viktor Frankl mendirikan aliran Psikoterapi-Logoterapi dari pengalaman pahit dan lama dalam kamp konsentrasi Nazi yang kejam. “Logoterapi” berasal dari perkataan Yunani logos yang berarti “arti/ makna” atau “spirit”. Maka logoterapi berfokus pada arti eksistensi manusia dan usahanya mencari arti itu.
Untuk menstimulasi pencarian arti dalam diri pasien-pasiennya, frankl bertanya kepada mereka yang putus asa: “…….karena kamu hidup begitu menderita kenapa kamu tidak bunuh diri?” dari jawaban-jawaban mereka, misalnya karena cinta kepada anak, ibu atau kekasih, karena pengabdian kepada tugas atau partai, Dr. Frankl bisa memunculkan dan menggabungkan semua tenaga-tenaga pendorong yang memberi arti kepada kehidupan psikik dan spiritual mereka.
Motto logoterapi adalah pernyataan Nietzche yang terkenal: “Ia yang mempunyai sebab untuk hidup dapat menanggungkan hampir segala-galanya”. Baginya, sebab pokok ledakan gangguan-gangguan emosional adalah rasa frustasi dari kehendak manusia akan “arti
Jadi, kehendak akan “arti’ adalah watak dasar manusia. Frustasi terhadap kehendak itu membawa kepada kekosongan dan eksistensial, kepada pertemuan dan ketidakadaan; dengan yang tidak hidup. Frustasi ini terutama sekali berujud kebosanan dan “kecemasan eksistensial” yang mungkin sekali bisa membawa kepada apa yang disebut oleh Frankl sebagai “noogenic neurosis”. Noogenic neurosis adalah suatu neurosis yang timbul akibat konflik moral dan spiritual antara berbagai nilai-nilai, bukan sebagai akibat konflik antara dorongan-dorongan.
Jadi, kehendak akan “arti’ adalah watak dasar manusia. Frustasi terhadap kehendak itu membawa kepada kekosongan dan eksistensial, kepada pertemuan dan ketidakadaan; dengan yang tidak hidup. Frustasi ini terutama sekali berujud kebosanan dan “kecemasan eksistensial” yang mungkin sekali bisa membawa kepada apa yang disebut oleh Frankl sebagai “noogenic neurosis”. Noogenic neurosis adalah suatu neurosis yang timbul akibat konflik moral dan spiritual antara berbagai nilai-nilai, bukan sebagai akibat konflik antara dorongan-dorongan.
Ada dua kutipan pendek dari pandangan eksistensialisme dalam menyangkal psikoanalisis dan behavior :
– Pencarian arti (makna) bagi manusia adalah merupakan suatu kekuatan primer dan bukan “rasionalisasi sekunder” dari dorongan-dorongan instink.
– Arti (makna) itu unik dan khusus hingga harus dan hanya dapat dipenuhi oleh manusia itu sendiri; barulah tercapai kepuasan kehendaknya akan arti (makna).
– Arti (makna) itu unik dan khusus hingga harus dan hanya dapat dipenuhi oleh manusia itu sendiri; barulah tercapai kepuasan kehendaknya akan arti (makna).
Ada beberapa penulis yang mengatakan bahwa arti dan nilai tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan, reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Tapi bagi eksistensialisme manusia tidak hidup semata-mata demi “mekanisme pertahanan” dan juga tidak rela mati demi sebuah “reaksi formasi”. Tapi manusia sanggup hidup maupun mati demi ideal-ideal dan nilai-nilainya.
0 comments:
Post a Comment